Rabu, 13 Oktober 2010

Masih Adakah PANGAN Untuk nak Cucu Kita

Masalah Pangan di Indonesia memang merupakan fenomena yang menarik perhatian kita semua, bukan hanya masalah pasang surutnya ketersediaanya di pusaran dinamika politik Indonesia tetapi ketersediaan yang cukup berlimpahpun banyak mengundang perhatian kita semua. Permasalahan yang kompleks dan keterlibatan berbagai faktor pendukung tersebut, ibarat interaksi berbagai faktor yang mendukung fungsi dan peran sungai dari mulai hulu hingga hilir.

Lantas di Negara yang berpenduduk kurang lebih 250 juta jiwa, dengan faktor pendukung tumbuh kembangnya masalah pangan yang saling tumpang tindih di tambah dengan keterpurukan multidimensional serta bergesernya nilai sosial masyarakat ke arah anarkisme. Masalah panganpun menjadi masalah yang amat pelik. Lantaran menelibatkan produktifitas para petani/pebisnis agro, inovasi teknologi baik mutu dan diversifikasi bahan pangan, pengelolaan pasca panen dan lain sebagainya.

Secara garis besar pengadaan pangan dimulai dari keterlibatan organisma produsen (tumbuhan) serta peranan konsumen (hewan) sebagai sumber bahan pangan untuk manusia. Hal ini seharusnya menjadi masalah yang dominan, karena manusia adalah . organisma yang tidak mampu memproduksi bahan pangan sendiri, fungsi ini memang mutlak menjadi faktor pembatas manusia, karena secara biologis manusia tidak mampu mensintesa bahan anorganik menjadi bahan organik bahan pangan. Konsekuensi logis dari specifikasi manusia tersebut adalah “penertiban tata guna lahan” yang efisien.

Nampaknya kepelikan ini diawali dengan tata guna lahan yang amburadul. Tidak adanya ketegasan dari otoritas dalam pengendalian tata guna lahan mengakibatkan menyusutnya lahan produktif semata mata untuk kebutuhan pemukiman. Sejak tahun 2005 diperkirakan bahwa tidak kurang dari 42,40 persen luas sawah irigasi di Indonesia dikonversi ke sektor lain. Bahkan menurut Mantan Menteri Pertanian Anton Apriyanto kurangnya perhatian semua pihak menyebabkan setiap tahun sebanyak 330 hektar lahan produktif beralih fungsi dan yang mengkategorikan sebagai angka yang cukup spektakuler. Sehingga menurut Rachmat Pambudy Sekjen HKTI luas lahan produktif di Indonesia kini hanya tinggal 8, 6 juta hektar.

Lebih lanjut Sekjen HKTI menuturkan bahwa, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat permintaan pangan yang tinggi. Sebetulnya, permasalahan pemenuhan kebutuhan pangan ini justru dapat menjadi peluang bagi Indonesia sebagai negara agraris karena sebagian besar mata pencaharian penduduk tergantung sektor pertanian. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya, bila kita kaitkan dengan pernyataan Siswono Yudo Husodo saat menjadi nara sumber diskusi “Tantangan dan Prospek Pertanian di Indonesia” bertempat di Kantor Deplu (15 April 2008) menjelaskan bahwa masalah utama yang masih akan dihadapi bangsa Indonesia ke depan adalah masalah pangan. Meskipun sebagai negara agraris, Indonesia masih mengimpor beras. Hal yang sama juga terjadi pada komoditas pertanian lainnya seperti gula, dan daging sapi.

Langkah efisienpun perlu diambil, dengan tekad yang serius sehingga Indonesia mampu terlepas dari lilitan ketergantungan Negara lain, meski kita sendiri sedang di lilit keterpurukan. Fungsi penelitin dan pengembangan komoditi pertanian segera dengan sigap mencari terobosan penemuan produk hasil bioteknologi tepat guna yang murah dan praktis. Hal ini perlu dilakukan, lantaran ekstensifikasi lahan pertanian, meski di luar Pulau Jawa dengan membuka hutan alam sudah tidak efektif lagi.

Kita mengetahui bahwa Indonesia memiliki hutan seluas 162.290.000 hektar (Dinas Kehutanan Indonesia, 1950). Lantas apakah kita mampu terus memfungsikan hutan Indonesia, bila luasnya terus saja menciut, sebagaimana dilaporkan Kementrian Kehutanan bahwa hingga tahun 1992 luasnya tinggal 118,7 juta Ha, kemudian pada tahun 2003 berkurang menjadi 110,0 juta Ha dan tahun 2005 tinggal 93,92 juta Ha (Praktis tinggal 58 %. Kita akan lebih meratap pilu bila menyikapi laporan World Resourches Institute (1977) yang menyatakan bahwa Indonesia telah kehilangan “hutan asli alamnya” hingga mencapai 72 %..

Bila perlu kita merekonstruksi rencana pembangunan lima tahun periode ke II menuju Masyarakat Indonesia yang kokoh ketahanan panganya, lengkap dengan diversifikasi bahan pangan, melimpahnya produk bioteknologi dan diterapkanya sistim pertanian yang intensif. Setelah Soeharto gagal mencanangkan repelita pada masa Orde Baru beberapa waktu silam. Setelah kita menapaki era reformasi, maka sudah barang tentu program tersebut di ataspun bakal menggapai keberhasilan (Dari beberapa sumber).