Liputan Google
Diposkan: 25 Dec 2011 12:15 AM PST
Hari ini di bebagai belahan
dunia,masyarakat sedang merayakan Hari Natal.
Tetapi di Russia dan negara Eropa Timur lainnya, tanggal 25 Desember
dilewatkan begitu saja . Tetapi di balik itu, hanya
sedikit masyarakat yang mengetahui bahwa tanggal 25 Desember adalah hari saat
dimulainya pengembangan komputer di Eropa.
Enam puluh tahun silam di Kota Kyiv,
Ibukota Ukrania , tepatnya di Soviet
Academy of Sciences, Sergey
Lebedev pemimpin MESM project atau “Small Electronic Calculating Machine,” telah mendapat penghargaan sebagai ilmuwan pertama yang menemukan komputer
elektronik yang secara resmi digunakan di Sovyet dan negara negara Eropa.
Hingga kini kami merekomendasikan bahwa Lebedevlah
yang pertama kali menemukan komputer elektronoik yang pertama kali,
brdasarkan keterangan dari Boris
Malinovsky, yang hingga kini masih
bekerja di MESM dan menjadi pemimpin ilmuwan di Sovyet pada era
komputerisasi.
Pada awalnya semangat Lebedev untuk meneliti dan mengembangkan
komputer menjadi kendor , karena perkembangan komputer tertinggal
dengan pengembangan listrik dan
penelitian ruang angkasa. Kerja MESM
yang nyata baru dimulai awal tahun 1948 dan menghasilkan sederatan prestasi.
|
Senin, 26 Desember 2011
Perintis Komputerisasi Eropa
Selasa, 20 Desember 2011
Energi Matahari Google
Tanggal 20 Desember
2011, pukul 03:00:00 AM Google telah melaporkan suatu upaya terobosan
karya iptek yang didanai Google sendiri sebesar 94 juta Dollar AS, untuk
merancang bangun Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya ( solar photovoltaic ).
Proyek
pembangkit ini dibangun di Sacramento California. Proyek ini bernilai vital
karena termasuk jenis pembangkit yang berharga mahal karena mampu menyerap dana
keseluruhan sebesar 915 juta Dollar AS.
Google telah
menyanggupi dan siapmengucurkan dana untuk 10.000 pelanggan termasuk juga biaya
instalasi Energi Listrik Surya ( solar PV) yang dipasang di atap rumah
pelanggan. Proyek ini mampu mengalirak listrik sebesar 88 MW, yang setara dengan bearnya energi
listrik lainya untuk 13.000 rumah.
Pelayanan energi tersebut telah disepakati berupa kontrak selama 20 tahun dengan pemerintah daerah Sacramento (Sacramento Municipal Utility District /SMUD).
Sumber :Google News, 20 Desember 2011.
Minggu, 18 Desember 2011
Tambora yang Ditelan Bumi
Gunung Tambora terletak
di Pulau Sumbawa, Propinsi
Nusa Tenggara Barat, tepatnya terletak pada koordinat 8 o 15 ‘ LS dan
118 o BT . Gunung
ini terletak di dua kabupaten yaitu Dompu dan Bima, dengan ketinggian kala itu
yang mencapai 4.300 m dpl, maka gunung ini pernah menjadi gunung yang tertinggi
di Nusantara. Ketinggian yang dicapai oleh gunung tersebut dikarenakan
terjadinya proses pengeringan magma yang berada di dapurnya, yang berukuran
sangat luas.
Tambora terletak 340 km sebelah utara palung magma Jawa dan 180-190 km di
atas zona subduksi. Secara geologis gunning ini terletak di sisi utara dan
selatan kerak oseanik. Kala gunung ini menambah ketinggianya, maka dapur magma
terbentuk dan mengosongkan isi dapur tersebut. Karena aktifitas ini maka
terbentuklah Pulau Pulau Mojo dan Teluk Saleh yang dahulunya adalah sebuah
cekungan samudra.
Sejak Bulan April 1815 aktifitas gunug ini meningkat dan mencapai puncaknya dan
pada tahun tersebut meletuslah Gunung Tambora. Suara letusannya
terdengar hingga Sumatra dan menyemburkan debu hingga Kalimantan, Sulawesi,
Jawa dan Maluku. Latusan ini menyebabkan korban tewas langsung sebanyak 11.500
jiwa dan 71.000 tewas karena kelaparan karena gagal panen.
Gunung Tambora mengalami masa tidur berabad-abad sebelum tahun 1815, dalam
masa itu larutan padat dari cairan magma bertekanan tinggi terbentuk dalam
dapur magma yang berkedalaman 1,5 – 4,5 km. Tekanan magma tersebut telah
mencapai 4 kbar dengan temperature 700 °C-850 °C. Pada tahun 1812. Pada
tanggal 5 April 1815 kaldera Gunung Tambora mulai bergemuruh dan menghasilkan
awan hitam. Suara gemuruh kaldera tersebut terdengar hingga Makasar, Jakarta
dan Pulau Jawa. Saat itu semua warga mengira hanya sebuah suara meriam.
Pada tanggal 6 April abu vulkanik mulai jatuh di Jawa Timur sementara itu suara gemuruh terdengar hingga
tanggal 10 April 1815. Pada pukul 7 malam tanggal 10 April letusan gunung
semakin kuat. Terjadi tiga jakur api yang bergabung, sehingga seluruh gunung
hanya terliah api. Batuan apung sebasar 20 cm mulai menghujani pada pukul 8
malam, diikuti dengan abu pada pukul 9 – 10 malam tsunami besar menyerang pantai beberapa
pulau di Indonesia pada tanggal 10 April, dengan ketinggian di atas 4 m di
Sanggar pada pukul 10:00 malam. Tsunami setinggi 1-2 m dilaporkan
terjadi di Besuki, Jawa Timur sebelum tengah malam dan tsunami
setinggi 2 m terjadi di Maluku.(Laporan Thomas Stamford Raffles dan beberapa sumber).
Dengan menerapkan tehnik radiocarbon, diketahui bahwa Tambora telah meletus
sebanyak tiga kali sebelum letusan utama Tahun 1815. Tiga letusan tersebut
memiliki karakteristik yang sama dimana terjadi di puncaknya dan pada letusan
yang ketiga tidak dibarengi dengan aliran piroklastik.
Sejak tahun 1812 Gunung Tambora menjadi lebih aktif dari biasanya dan
mencapai puncaknya pada tahun 1815. Besar letusan tersebut mencapai skala 7
pada Volcanic Explosivity Index (VEI) dengan menyemburkan tefrit sebesar 1.6 × 1011 meter
kubik yang menyebabkan sebuah Mega Tsunami, korban jiwa, kerusakan tanah,
runtuhnya kaldera dan lenyapnya Kerajaan Tambora.
Setelah letusan utama, pada tahun 1819 terjadi beberapa letusan letusan
kecil yang hanya bernila 2 pada skala VEI, tetapi hanya terjadi di kalderanya,
sehingga membentuk kawah baru yang disebut kawah baru bernama Doro Api Toi
di dalam kaldera
Letusan
Gunung Tambora ini mengakibatkan kerusakan iklim dunia. Karena selama Tahun
1816 tidak pernah terlihat sinar matahari satu haripun. Masyarakat dunia
menyebut tahun tersebut sebagai the "Year Without a
Summer".
Gunung Tambora , seperti juga Gunung Merapi di Jateng termasuk type gunung Stratovolcano
atau juga disebut gunung komposit. Type gunung ini dapat dilihat dengan
ciri bentuk yang mengerucut. Bentuk kerucut disebabkan karena aktifitas gunung
ini relative tinggi dengan larva yang dikeluarkan lebih kental dan lebih cepat
mendingin sebelum menyebar ke daerah sekeliling gunung tersebut. Kekentalan
larva guung ini karena kandungan silikat yang tinggi.
Di bumi ini ketinggian gunung stratovolcano bisa mencapai lebih dari 2500
M. Gunug ini dihasilkan dari Subduksi Lempeng Tektonik ( Subduction Zone ). Subduction
Zone adalah tempat pertemuan / tumbukan dua lempengan
bumi. Biasanya lempengan yang bertumbuhan adalah oceanic dengan continental
( daratan ). Hal ini menimbulkan
akibat salah satu lempengan akan terangkat atau tenggelam di bawah daratan, dan
akan mengakibatkan sebuah cekungan yang dalam dan terisi magma.
Selain Gunng
Tambora dan Merapi, gunung gunung di muka bumi ini yang bertype stratovolcano,
adalah :
·
Aragtis,
Armenia
Gunung Pulau Barren di Kepulauan Andaman India.
Beerenberg
Cotopaxi di Ekuador
Gunung Pulau Barren di Kepulauan Andaman India.
Beerenberg
Cotopaxi di Ekuador
·
Elbrus dan
Kazbek Kaukasus Rusia
·
Etna di
Italia
·
Fuji di
Jepang
·
Hood di
Oregon Amerika
·
Vesuvius di
Italia
·
Lanini di
perbatasan Argentina dan Chili
·
Mayon di
Filipina
·
El Misti,
Peru dsb. (Dari berbagai sumber ).
Rabu, 09 November 2011
Banjir Sebuah Teror Baru untuk Kota Besar
sumber google |
Menghadapi alam yang menggeliat seperti tersebut di atas, maka kita
harus menyikapi dengan sigap, yang
bertujuan untuk menghadapi fenomena yang
mampu merusak kehidupan social masyarakat kita, meski hanya menghindarkan
kerugian semaksimal mungkin akibat “amukan alam” ini. Hal ini dikarenakan hingga kini belum ada
capaian iptek manusia yang handal dalam menghadapi alam, yang “perkasa, garang,
misterius dan sekaligus lembut” sebagai penopang kehidupan organisma di muka
bumi ini. Umat manusia hingga kini hanya mampu menelisik faktor faktor penyebab
“liar dan garangnya alam” terutama penyebab
banjir , yang berpeluang besar hadir di tengah kita.
·
Kerusakan Lingkungan dan Banjir
Seperti kita ketahui bersama, bahwa suhu rata-rata atmosfer Bumi telah meningkat dari tahun demi
tahun sebesar 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun
terakhir. Fenomena alam tersebut berhasil dikembangkan lebih lanjut oleh hasil peneltian
badan dunia yang bernama Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), yang
menyimpulkan bahwa, sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global
sejak pertengahan abad ke-20, kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya
konsentrasi gas-gas rumah
kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca. Bahkan sebanyak 30 badan ilmiah
dan institusi akademik (termasuk semua akademisi, ilmuwan dari negara-negara G8) juga telah menyepakati fenomena bumi
tersebut. Mereka juga menyepakati Model
Iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC,
yang mengisyaratkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga
6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 hingga 2100 nanti (Pemanasan
Global, Wikipedia, 2010).
Sebuah tim peneliti lain dari Universitas Oxford baru baru ini juga telah
melakukan penelitian tentang atmosfer . Dalam penelitian tersebut mereka menggunakan model computer, yang mampu
menggambarkan keadaan atmosfer sebenarnya. Dengan menggunakan computer tersebut
mereka berhasil membandingkan keadaan atmosfer tanpa Karbon Dioksida dan gas efek rumah kaca
lainya (yang terkumpul karena emisi peradaban yang ada di muka bumi ini).
Dengan studi perbandingan tersebut, berhasil disimpulkan tentang keadaan
atmosfer dekade sekarang, perangkat computer tersebut memberikan gambaran tentang adanya air sungai (perairan bumi) yang ber-pH
basa, dan mampu menyebabkan curah
hujan yang relatif tinggi. Kasus ini banyak dijumpai di Inggris dan Wales. Mereka juga mengemukakan bahwa pada kasus
peningkatan sifat basa air sungai yang
ekstim di sekitar wilayah tersebut, ternyata menimbulkan banjir bandang pada
tahun 2000.
Dengan penemuan tersebut mereka berhasil menjawab hubungan antara “emisi gas rumah kaca” terhadap banjir
bandang. Studi lainya tentang iklim
dilakukan juga oleh ilmuwan dari Kanada
dan Inggris yang menyimpulkan bahwa adanya
fenomena “emisi gas rumah kaca” menyebabkan peningkatan curah hujan yang
ekstrim dan terjadi di belahan bumi utara. Peningkatan curah hujan tersebut
berlangsung antara tahun 1950 hingga 2000 (BBC News, Climate Change Raise Flood
Risk, 16 Pebruari 2011).
Peluang tingginya curah hujan hujan di atas normal di Indonesia telah dilaporkan oleh Kepala Sub Bidang Peringatan
Dini Cuaca Ekstrim BMKG, Kukuh Ribudiyanto, yang menyatakan bahwa cuaca ekstrim memang salah satu penyebab terjadinya banjir
dan biasanya curah hujan yang tinggi ini terjadi mulai Desember hingga Febuari tahun
berikutnya. Dengan demikian adanya fenomena cuaca ekstrim tesebut tentunya mampu
mensiratkan kita untuk bersikap “ekstra waspada dan prihatin “ terhadap
banjir yang ditimbulkannya. Sehubungan
dengan banjir yang telah akrab dengan kita,
- Teror Untuk Kota Besar
Meski kita belum berani menyatakan kebenaran hasil riset ilmiah Climate
Change Raise Flood Risk di atas,
namun beberapa kasus “banjir besar dan
bandang “ telah terjadi di muka bumi ini. salah satunya adalah banjir “Jakarta 2007”. Bencana banjir ini menghantam Jakarta dan sekitarnya sejak 1 Februari 2007 malam hari. Selain sistem drainase yang buruk, banjir berawal dari hujan lebat yang
berlangsung sejak sore hari tanggal 1 Februari hingga keesokan harinya tanggal
2 Februari, ditambah banyaknya volume air 13 sungai yang
melintasi Jakarta yang berasal dari Bogor-Puncak-Cianjur, dan air laut yang sedang
pasang, mengakibatkan hampir 60% wilayah DKI Jakarta terendam banjir dengan
kedalaman mencapai hingga 5 meter di beberapa titik lokasi banjir.
Fenomena banjir akan menjadi tambah
kompleks bila fenomena ini menerjang kota metropolitan seperti Jakarta dan kota
besar lainya baik di dalam maupun di luar negeri. Kota Jakarta tidak mempunyai
pilihan kecuali untuk bersinergi dengan alam yang telah menjadi warisan ibu kota
Indonesia ini. Kota ini dialiri 13 sungai dan empat puluh persen daratannya
berada di bawah muka laut pasang. Laju penduduk Jakarta pun pesat sehingga
tekanan pada alam Jakarta berdampak pada pengelolaan serta pengendalian banjir.
(Fauzi
Bowo, Mengapa Jakarta Banjir.
Pengendalian Banjir Pemerintah Provinsi Jakarta, 2010).
- Solusi Komprehensif
Solusi yang lunak dan persuasif di
kota besar perlu sekali dikedepankan unyuk menepis terror banjir ini. Bukan
hanya upaya rehabilitasi drainase lingkungan. Karena masalah banjir adalah
masalah “keseimbangan ekologis” yang telah didzolimi umat manusia. Sehingga
akan pecuma saja bila Ditjen Sumber
Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum mengalokasikan anggaran sebesar Rp145,7
miliar untuk pengamanan pantai dan pengendalian banjir pada 2012, tanpa ada “pencerahan moralitas” rakyat kita yang peduli dengan lingkungan,
seperti : swadaaya pengelolaan sampah, swadaya pemeliharaan drainase di
lingkungan sekitar mereka, pelestarian dan perluasan Lingkungan Terbuka Hijau yang proporsional
dengan pemukiman. Sehingga di masa mendatang lingkungan kota akan terbebas dari
teror banjir (Dari berbagai sumber).
Minggu, 06 November 2011
Indonesia dalam Untaian Kata
Sebuah Kisah tentang Negeri Bunga
Kala sang dewa membasuh wajahnya dari air sejuk pancuran sorga,
mengalirlah air kehidupan , sebening embun
yang menepikan birama tanah retak,
dari cengkeraman kemarau panjang.
Wajah sang dewapun kini menjadi cermin dari sekumpulan,
bunga bunga yang memegari halaman rumah ...
yang berjejer dari “Andalas, Borneo hinggga Tanah Papua”.
Saat itu teduh telah memenuhi langit biru,
meski “iri dan dengki”
dari Negeri Sinderella lama mengintip
dan mengokohkan jerat di Samudra Hindia, agar karang-
karang kokoh
menjadi rapuh, serapuh kedurjanaan mereka.
Kawanan burung camar menjadi saksi
merapatnya kapal
kapal VOC yang bengis dan serakah,
menebas bunga bunga sorga dan memasangkan pada
sisi lambung kapal
kapal mereka yang pongah
bunga sorgapun
terpingit dalam halimun kelam
Lengan lengan rapuh,
tak kuasa menyeka
air mata Ibu Pertiwi dan saat itu bertebaran memenuhi
sawah ladang yang
terinjak sepatu laras tuan tuan tanah,
yang menyeringai dari buritan kapal.
Namun busur waktu telah melontarkan detik demi detik
hingga lengan
lengan itupun perlahan menjadi tangkas
untuk memikul senapan dan menggenggam bara.
Untuk menghardik mereka semua kembali ke Istana
Sinderalla.
Jangan kau remehkan
tumbuhnya bunga,
meski kelopaknya telah kau sayat di Tanah Digul, Ende dan Bengkulu
meski lengan lengan ini hanya mampu menerkam sebungkus
nasi
dan adonan daun
pepaya dan ketela. Langitpun menyodorkan catatanya,
telah terbukti lengan lengan itu mampu menelikung sayap sayap Fighting Cock
dan Mallaby yang
terpincing matanya. Dan kala Palagan Ambarawa serta
Medan Area telah menjadi bukti meradangnya lengan lengan
yang lama terpingit ketidakadilan.
Setiap sari bunga sorga menjadi beterbangan memenuhi
ruang di bawah langit,
kala bunga Sakura dari Timur berhasrat meminang
bunga bunga dalam karangan berduri dan mengiris luka,
bunga bunga sorga yang
lemah santun menjadi saling
pandang
Betapa kekarnya bunga sakura, yang mengusung hasrat bersemi
dalam pijakan yang dalam, di sawah ladang Asia Pasifik
Pernahkah kau dengar cerita dari sekumpulan awan ?....
yang tergelar karena bunga yang “murah senyum”
lantas menebas leher “bunga merah”, yang menjinjing
tempayan berisi air mata.
membuat angin
padang tak ramah melaju
menerbangkan debu debu
pada jalan yang panjang dan berkabut
Kita tak mampu lagi menampung air mata
yang tercecer di aspal jalan dan halaman kantor negeri
lantaran bunga bunga itu telah melonggarkan teriakanya
dan menyumbatkan nadi jantungnya, hingga berisi
makian, cercaan ....tak ada lagi beranda hati
yang ditumbuhi ranum mentimun, air mawar, segarnya air
Danau Toba
untuk sekedar
mandi anak cucu kita di pancuran sorga.
Bunga bunga kini menghitam putiknya,
Melepuhkan juga kulit kulitnya
lantaran terhempas asap kereta reformasi
yang melaju terbata di rel depan rumah bambu mereka.
Lantas mengapa hanya di halaman rumah bambu,
yang ditumbuhi bunga bangkai,hingga pelangi menjadi
pudar warnanya.
Kita tak perlu lagi saling beradu sorot mata
bila angin segar dari ketiak langit
masih mampu kita jaring untuk menyemai padi, palawija
dan anak cucu kita
yang bersekolah
di gedungin gedung yang retak dindingnya.
Kita atur langkah kita dan hembuskan nafas yang bersih
Agar bunga bunga sorga masih bisa tumbuh
Memagari punggawa punggawa yang membengkak perutnya
berisi ketamakan dan nafas busuk
meski halaman rumahnya telah terpancang
rimbunya tanda jasa dan kemegahan. (Semarang,
27 Oktober 2011).
Merajut Pagi di Bumi Nusantara
Benang sutra kini
sudah rapuh,
untuk merenda pagi dalam kanvas
yang berukir
mozaik wajah wajah tunduk,
betapa tingginya
bunga ilalang menggapai langit biru
di negeri berpagar
kemarau panjang
Telah kering air
kali sejuk membius
angin benuapun lebih memilih melajukan prahara
sementara petinggi
negeri
hanya duduk melamun
dengan taring menjulur tajam
dan siap merobek
wajah pagi yang santun,
sehalus sutra dan
sesejuk
buih Danau Toba
Kita telah berada
di beranda jaman
yang berisi dunia
maya dan “solar flare”
mampukah kita
menyobek kelambu dan tabir
yang mengungkungkan
kita di kamar ketertinggalan
maka tiada guna
lagi tangan menggapai liar
bila rajutan pagi
tak membutuhkan lagi
(Semarang, 27 Oktober 2011).
Dalam Doa
Dalam doa kita tak sendiri.....
Sayap sayap malaikat telah merentang
yang berisi gambaran perjalanan panjang
menuju Istana Megah di ufuk timur
Dalam doa, tak ada
saksi lagi
mengeringnya air mata...untuk membungkam
teriakan panjang di jalan jalan
pertikaian di gedung gedung terpandang
Tuhan, lindungilah negeri seribu bunga ini
(Semarang, 27 Oktober 2011).
Indonesia Di Tengah Benang Waktu
Kala pagi halimun
masih kentara, menghitami
hamparan sawah
ladang, dan menenggelamkan
kuning permadani
padi, dan hijau kecoklatan
palawija. Belalang
belalang masih meneriaki makian
panjang, di tengah
perut mereka yang meradang
seakan menggenggam
hasrat, untuk membelah
dinding perut
mereka sendiri.....
di tengah mereka
itulah Indonesiaku berdiri kokoh
Telah beberapa lama
pagi itu, mereka
yang bertopi
“caping” dan bercelana kumal
telah lalai
membenahi pagi, dengan sarapan nasi
hangat
dan sajian teh
manis.
Namun mereka malah
bersikokoh untuk
menghempaskan pagi
dan memaksa ilalang lemah
menelan ludah
mereka mentah mentah
bukankah gubug
bambu, yang berangin sejuk dan nyaman
adalah rumah tempat
bersemayam ilalang
yang ada di Ibu Pertiwi
Mengapa atap rumbai
rumah- rumah ilalang sepanjang
“Bukit Barisan” dan
“Pegunungan Kidul” yang tersambung dengan
“Waisor” dan
“Timika” bersatu dalam seduhan
cincin
api....lantas akan kau ubah
menjadi naga-naga
bertaring merah, penghisap darah...
di atas “meja
korban” dalam tragedi kemanusian paling
pengap dan mengiris
bulu kuduk.....
Saat relung
waktu masih melilit perjalanan
panjang kita
hingga berada
tepat di depan kaki kita yang melipat,
ilalang itupun
masih menggapai kedua tanganya
lantaran atmosfer
di atas “Negeri Krakatau”
telah berwajah
garang, tanpa berdandan ramah (Semarang, 23 Oktober, 2011).
Meniti
Awan- Awan Hitam
Kita rapikan awan-
awan dalam rentang perjalanan kita
agar tidak
berselingkuh dengan gelap dan hitam
jangan kita pasang
gendang telinga
pada lidah lidah
kelu, yang berkerah putih
dan bersepatu
“pantofel” dengan senyum “perlente”
Di tengah
perhelatan sumbang
dari anak
negeri...dengan kepalan tangan mengencang
tapi bersorot mata
menghadap rumah berarsitek
negeri impian,
mereka sempat bergumam
“biar saja sang
abang becak menghangus diterkam
panasnya
mentari...biar saja semua si miskin
terjerambab dalam
kubangan lumpur menghitam”
Kita adalah anak
negri, yang bermandi kuning
sinar sang mentari
di hulu ”Sungai Kapuas, Mahakam dan Musi”
bertatap pada
“Puncak Jaya Wijaya”
namun kita
harus tetap mentautkan benang sutra
titian
menuju cakrawala
yang ditengahnya berdiri
rumah sederhana
namun kokoh
tempat bermain anak
anak kita..
Jangan kita surutkan apa yang kita miliki
hanya karena awan hitam yang menutup kening kita
serta membuat kita
terpagut pada asa yang samar (Semarang,
23 Oktober, 2011).
Takan
Pernah Usai
Bergeraklah dan
terus bergerak
daun nyiur di tepi
pantai,
agar angin kemarau,
mampu mengipasi
bidadari
yang melepas dahaga
di tepi pantai,
pada muara sungai sungai
bening beraroma
khatulistiwa
Teruslah melejit
seperti anak panah
pergantian arah
angin muson
karena dari
sinilah, kita menjadi “Negri Santun”
yang tak kan pernah
mengusung teriakan panjang
yang tak pernah
membusung dada kita
kita takan pernah
berhenti......
menghembuskan iklim
sejuk dan bij-i biji kering
agar bersemi, di
sawah ladang,
tanpa prahara dan
suara burung sumbang. (Semarang,
23 Oktober, 2011).
Sebuah
Pesan untuk Saudaraku
Sudah
berabad lamanya, nenek moyang kita....
mengikat pagi,siang dan senja hari
dengan jagung, ketela rambat dan bayam
tak
ada duri tajam di sawah ladang mereka....
mereka siram dengan air Anugerah dari
Yang Kuasa.
Tiada gemercik air kali yang membawa aroma
kemunafikan
dan durjana, sawah merekapun
ditanami
“tanaman kebajikan” hingga menumbuhkan semai
kebijakan.
Tiada pernah ada makar, anarkis dan mesiu
Mari kita menambatkan perahu di pantai mereka
meski akan
kita temui jalan dari tanah liat yang
licin, lembab namun bertepi wangi bunga
berpagar bambu dengan anyaman yang rapi dan kokoh
dengan “sang
gula kelapa” melekat kuat di pilar
kayu pintu depan rumah gubug mereka.
Kita sapa punggawa, hulubalang serta para menteri
Yang berjejer rapi di cakrawala mereka
Yang berangin sepoi, bukan angin yang berdebu,
yang menderu memburu, halaman depan gedung loji
beratap kayu cendana dan
bertembok tulang belulang
dari belukar ,
yang tumbuh di tengah padang penuh batu
bergerigi.
Kita sisipkan satu halaman buku catatan kita
Agar terbaca bintang, halimun dan tepi langit
Sehingga mereka berhasrat datang ke Bumi Nyiur di
Pantai
Dengan mengemudikan angin fajar.
Mari kita benamkan, segala bara, hempasan prahara
Yang datang dari sudut langit, yang kau penuhi
dengan
iri dengki
dendam dan hasut
tiadakah pagi, tempat memainkan buluh kembang tebu
untuk dijadikan seruling.
Atau kita hanya diam....
Sepi. Semarang,
29 Oktober 2011.
Prosa untuk Negeriku
Bila kita untai sepotong sajak dari guratan alam
yang terhampar
pada kubangan antara dua benua,
melajulah Pinisi, yang membuang sorot mata jauh
ke Selat Malaka,
yang berombak sejuk, penuh “susul menyusul”
lagu rakyat tentang pantai, lembah dan gunung.
Meski ‘Wedus Gembel” pernah menyalak keras,
Namun dia tetap mengokohkan
Tebing tebing yang memagari sawah ladang
Agar tetap betumbuh hijauan, yang tak pernah
melangkah surut ,
meski prosa ini
telah kehilangan birama tentang “untaian kasih”
Dari kumpulan kembang sepatu ,beluntas dan kayu manis
Mereka saling melilitkan akarnya agar kokoh berjejer
sepanjang relung waktu...memenuhi megahnya
hingga pujanggapun tak lagi mampu
menyusun prosa (Semarang,
29 Oktober 2011)
Aku tak Ingin Pulang
Aku belum mampu meninggalkan jejak kaki
Agar dipunguti anak
cucu
Yang memburu belalang
liar...
dan tidur di
ilalang yang mengering
Baru saja udara
yang pengap
Berselingkuh dengan
rongga dadaku,
Hingga penat
menyelinap seluruh sendiku
Karena aku berusaha
ingin tahu, tentang teriakan
panjang para anak
bangsa yang menyelipkan
segudang geram, mampu merobohkan
Anak Krakatau dan
Rinjani
Aku tak ingin
pulang
Sebelum bunga
bunga kering di tengah jalan
yang ditebar dengan
sebelah mata
menjadi bersemi
lagi
harum
mewangi...menghiasi puncak
Jaya Wijaya. (Semarang,
29 Oktober 2011)
Dendam Rindu
Kekasih yang menyimpan rindu,
adalah dia yang memegang erat semua
yang singgah di bilik jantung
Sang putri yang menawan, bersenyum ceria yang
disemai “Caldera Gunung Bromo”,
menopangkan hidupnya dengan bergayut
pada sejarah yang ditoreh tinta emas
pejaka yang merindu
yang selalu berikrar menyatukan semua
kaldera,kawah belerang, fumarol dan
hiasan alam
yang bersama dipikaji dengan dendam rindu
Luruhkan dahulu dendam rindu
Agar mengatur nafas
Dan beristirahat di Bumi Nusantara (Semarang,
29 Oktober 2011)
Pahlawan Terakhir
Lelaki tua
itu telah redup sorot matanya,
mengais angin
sejuk, menyisir duka
di pinggiran jalan protokol beraspal kepongahan,
di sampinya meluruskan kaki, berbaju compang camping
milik anak jaman
seorang pengemis muda…
“aku dulu mampu membungkam howitzer Anjing NICA”
seru laki laki tua itu, seraya menunggu kekaguman
pengemis muda mencibirkan bibir, membeku lidahnya
dengan mendengus nafas
pengemis muda menikamkan sebuah seloroh
“mengapa tak kau kenakan kerah baju jendral”
batu batuk kecil dan dalam menjawabnya
menyelipan kata, “usai sudah yang aku mampu…..
dadaku tak cukup bidang untuk menggayutkan
bintang jasa”
di pinggir jalan berumbai langit biru
adalah milik lelaki tua itu…yang mengungkung hatinya
tidak segentar membungkam “Water Mantel”
di genggaman “Gurkha” yang perkasa
semakin perlahan dia menyusuri jalan itu
kini sepi, dalam keranda tak berkemas
merah hati namun berkibar di hatinya
dalam keranda dia membawa tanah Sang Ibu Pertiwi
untuk di semai di halaman langit (Semarang, 3 November 2011).
Sebuah Epos Yang
Hilang
Tidakah kau pernah tahu ?
mereka datang dari jauh hanya membawa bara
untuk
menghanguskan setiap lekuk tubuh
Sang Ibu Pertiwi, aku menggenggam pilu
Aku
mengencangkan urat nadi
tidakah kau tahu
pula, anak- anaku?
Kita hanya memiliki
rembulan dan matahari yang saling berkejaran
untuk menguningkan padi dan tanaman jagung
agar perut kita tak menghempaskan deru
Namun mengapa mereka
menjaring angin kembara dan mengaitkan
pada sisi “negeri santun berpantai nyiur”
kita tak akan melipatkan lengan
meski kita hanya
bertelanjang dada
namun degup jantung mampu merobohkan tebing
yang mereka kokohkan
sepanjang Bukit Barisan hingga Cendrawasih
Anaku,
bila kokok ayam jantan di tebing ufuk timur
pagi berhias mentari, burung berpantun ria
dengan bulu warna warni
berbicaralah pada hari hari yang membisu
tentang lengan lenganku yang menghilang
kala memburu mentarimu, agar tetap terjaga (Semarang, 4
November 2011).
Manifesto Untuk Hantu
Berkerah Putih
“Altar yang kau lebarkan hingga menepi di batas Laut
Kidul, gigimu menyeringai, nampaklah tangan kecil menggelepar meradang nyawa
namun menepis nafas mereka sendiri. Sekawanan hantu terus saja membaca mantera,
dengan jas hitam berkerah putih, hingga Nampak langit berpoles warna kebiruan
namun masih berenda awan hitam”
Pohon perdupun menyimak, meski belukar mencibir,
rumput tetap saja mengokohkan sepatu laras
untuk menunjam bumi, bila sang Pemeran Jaman terpelanting dalam jurang,
Namun berjuta raut, mempersembahkan protes terhadap “mantra
sang hantu”
Yang hendak mengoyakan langit.
Dan mengusung
awan hitam, bertepi racun, onak bulu bambu.
Untuk mengusir nyamuk nyamuk bertulang iga rapuh di
bawah gubug bambu
Jangan kau hadapkan punggungmu, sang hantu !. Bila
liuk puting beliung menghimpitmu,
Hingga melemparnu ke Puncak Tanguruhua atau
Pinistubo,
Agar kau lebih akrab dengan tabir yang dulu kau
pintal setebal belacu,
1
Kau boleh mengajak semua yang ada di kantong bajumu
Untuk menjadi teman kala kau tersudut di sudut
tragedi
Apakah belum pernah kau dengar lagi,
Saat ibu ibu di desa membawa anaknya untuk melihat
dunia
Mereka bersekolah di bangunan kardus, bersandar pada
keramahan angin gunung, untuk menyisir daun daun
sayur yang tumbuh
Di sepanjang kebun penuh harap, sedangkan atap sekolah
mereka
selalu bergoyang ditiup angin ketidaktahuan
Atau kau lebih memilih
Bernyanyi simphoni riuh rendah yang mampu merobohkan
warna pelangi
Kala hitam tidak sepantasnya bertaut dengan jingga,
Atau biar saja “wedus gembel” menjadi merah membara
Menyodorkan sudut jantung yang berkawan sembilu
Kemudian menusuk tiap
yang kita miliki (Semarang, 4
November 2011).
Dari
Majapahit Hingga Reformasi
Setiap
pantai berbuih lembut.
Dari
hamparan Laut Utara hingga Selatan, bersemilir angin
penyejuk
sepasang mata kita,
petir
dan halilintarpun memasang bantal peraduanya,
mentaripun
menjaga tidur pulas mereka,
diapun
terus saja mengipaskan kuning rambutnya
agar
menusuk sanubari kita masing masing
tentang
“Negeri Tautan Keramahan Alam”
Negri
ini,
telah
menopang kita dengan bahunya yang lebar
senyum
gadis desa, mandi di sungai bening
mengalir
sepajang lembah hijau.
Tak
ada teriakan panjang memantul
Dari
dinding-dindang kedurjanaan.
Aku
berusaha mengintipnya dari sela sela
pagar tanaman tanaman beluntas, beribu membiusku
tatkala
semua anak cucu terbawa angin
katulistiwa
telah
terdampar pada lembah “senyum menawan”
kita
bersemayam, dalam nafas yang lentur
Sang
punggawa kraton Majapahit beramai-
ramai,
Menawan
hati “Sang Mahapatih Gajah Mada”
menarikan
gemulai hasrat, lembut tari kemanusiaan
Mengusung
sebuah kabar, datang dari mega Mahameru”
Untuk
menyunting “Negeri Katulistiwa”
Borneo
bermandi wangi bunga, pada jambangan bunga
Telaga
Bukit Barisan, Burung Cendrawasih menatapkan
sorot
mata sejuik, mampu melipat halimun pagi
Titian
pelangi senja, telah mengokohkan sebelah kakinya
di
Gunung Jaya Wijaya….
Namun
duka merayap di tiap tulang iganya
Ketiga
pelangi merambah “Negeri Reformasi”
“warna
merah bara menyalak memenuhi tiap pagi,
biru
menyendukan kemanusiaan yang tertsedu.
Warna
putih berselingkuh dengan awan gela,
Di
tepi wara jingga, yang memudar
tentang
“cinta kasih” antara ilalang Negeri Reformasi
sang
dara penjaga awan
telah
basah pipinya tertusuk asap hitam
yang
membumbung dari gedung-gedung menteri
yang
terbakar angin prahara
semua
berteriak nyaring dalam deru
di
atas jalan aspal yang mengelupas
kala
anak kota tawur melemparlan semua kebohongan
yang
mengalir bersama air sungai yang hitam
dan
bermuara pada perut buncit punggawa kraton
aku
berlari mencari pagar yang kokoh
tak
ada lagi muslihat atau pertikaian
tapi
pagar itupun menghardiku kuat kuat
sudah
tak ada lagi pohon tempat nyanyi kenari
meninabobokan
anaknya yang mencicit
terbelit
uang SPP,
aku
menjerit hingga terjagalah dari tidur siang
sang
penjual bakso, mi ayam, abang becak,
tukang
bangunan, kenet mikrolet yang mengakar
pada
permadani hijau Negeri Reformasi
dalam
kereta yang tidk pernah singgah
di
stasiun berhalaman beluntas*** (Semarang, 6 Nopember 2011)
Senyum
Malu Bidadari
Senyum
malu dari Anggrek Bulan, tanaman bidadari
Menyeruak
memenuhi halaman Prambanan dan Borobudur
Lantas
Serambi Mekah di Plataran Malaka,
telah
tersapu bersih dari sampah sampah “tak berarti”
saat
lesung pipi bidadari menemani petani desa,
menata
benih padi bersiram air hujan ramah
Menggurati
kanvas kehidupan kita semua
Senyum
kembali menghampar pada kungkungan langit
Kala
birunya telah ditelan hidup- hidup “Bhatara Kala”
Lambing
kebimbangan dan kemusykilan.
Namun
senyum tak berlesung pipit
lantaran
telah usang pantun dan gurindam
serta
sajak sajak tentang nasionalisme
Jangan
kau tertunduk galau dan risau…bidadariku
Kembalilah
dengan senyum malumu…beruntai
tembang
manis negri berpagar hujan
Mari
kita kembali lagi bertanam patriotisme
hingga
anak anak kita kokoh menggenggam
gula
gula manis, mengejar nurung pipit hingga
ke
tengah sawah, bermandikan air bening kali desa***(Semarang, 6 Nopember 2011)
Fatamorgana
Kemarin
“emak” telah memberiku
Sepotong
dongeng, tentang aku dan bagaimana
aku
memungut nafas, di tengah liukan “jalan tak berujung”
Emak
menerpakan aku sebuah pandang mata
yang
jauh menebariku “semai kemanusiaan”
hingga
ke tengah hati ini
Anaku;
Jangan
kau iri dan dengki
Jangan
kau menyelipkan hidup
dari
“uang Negara”, yang nantinya
melumatkan
sendi tulangmu
Jangan
kau tertawa di padang ilalang
Padahal
kelopak bunganya telah tegak
menghadap
langit.
Anaku,
bersatulah
dalam ikatan jalan panjang
menuju
bangunan kokoh di balik “dongeng emak”
tanpa
fatamorgana, meski kabut masih melilit
aku
menggeliat *** (Semarang, 6 Nopember 2011)
Ilalang Ilalang Negeri
Bunga ilalang
ilalang telah kusam bunganya
Tiada angin padang yang menjenguknya…
kian sepi dan meluruh tulang daunya
kala sepatu laras merebahkan
Ilalang, menembus pagi berpagar Flamboyan
Tapi tak pernah menemui harum selaksa kembang
Ilalang kembali jadi lakon
Dalam panggung lenong betawi
Hingga
tiada pagar yang mampu menepis**(Semarang, 6 Nopember 2011)
Sebuah Kisah tentang Negeri Bunga
Kala sang dewa membasuh wajahnya dari air sejuk pancuran sorga,
mengalirlah air kehidupan , sebening embun
yang menepikan birama tanah retak,
dari cengkeraman kemarau panjang.
Wajah sang dewapun kini menjadi cermin dari sekumpulan,
bunga bunga yang memegari halaman rumah ...
yang berjejer dari “Andalas, Borneo hinggga Tanah Papua”.
Saat itu teduh telah memenuhi langit biru,
meski “iri dan dengki”
dari Negeri Sinderella lama mengintip
dan mengokohkan jerat di Samudra Hindia, agar karang-
karang kokoh
menjadi rapuh, serapuh kedurjanaan mereka.
Kawanan burung camar menjadi saksi
merapatnya kapal
kapal VOC yang bengis dan serakah,
menebas bunga bunga sorga dan memasangkan pada
sisi lambung kapal
kapal mereka yang pongah
bunga sorgapun
terpingit dalam halimun kelam
Lengan lengan rapuh,
tak kuasa menyeka
air mata Ibu Pertiwi dan saat itu bertebaran memenuhi
sawah ladang yang
terinjak sepatu laras tuan tuan tanah,
yang menyeringai dari buritan kapal.
Namun busur waktu telah melontarkan detik demi detik
hingga lengan
lengan itupun perlahan menjadi tangkas
untuk memikul senapan dan menggenggam bara.
Untuk menghardik mereka semua kembali ke Istana
Sinderalla.
Jangan kau remehkan
tumbuhnya bunga,
meski kelopaknya telah kau sayat di Tanah Digul, Ende dan Bengkulu
meski lengan lengan ini hanya mampu menerkam sebungkus
nasi
dan adonan daun
pepaya dan ketela. Langitpun menyodorkan catatanya,
telah terbukti lengan lengan itu mampu menelikung sayap sayap Fighting Cock
dan Mallaby yang
terpincing matanya. Dan kala Palagan Ambarawa serta
Medan Area telah menjadi bukti meradangnya lengan lengan
yang lama terpingit ketidakadilan.
Setiap sari bunga sorga menjadi beterbangan memenuhi
ruang di bawah langit,
kala bunga Sakura dari Timur berhasrat meminang
bunga bunga dalam karangan berduri dan mengiris luka,
bunga bunga sorga yang
lemah santun menjadi saling
pandang
Betapa kekarnya bunga sakura, yang mengusung hasrat bersemi
dalam pijakan yang dalam, di sawah ladang Asia Pasifik
Pernahkah kau dengar cerita dari sekumpulan awan ?....
yang tergelar karena bunga yang “murah senyum”
lantas menebas leher “bunga merah”, yang menjinjing
tempayan berisi air mata.
membuat angin
padang tak ramah melaju
menerbangkan debu debu
pada jalan yang panjang dan berkabut
Kita tak mampu lagi menampung air mata
yang tercecer di aspal jalan dan halaman kantor negeri
lantaran bunga bunga itu telah melonggarkan teriakanya
dan menyumbatkan nadi jantungnya, hingga berisi
makian, cercaan ....tak ada lagi beranda hati
yang ditumbuhi ranum mentimun, air mawar, segarnya air
Danau Toba
untuk sekedar
mandi anak cucu kita di pancuran sorga.
Bunga bunga kini menghitam putiknya,
Melepuhkan juga kulit kulitnya
lantaran terhempas asap kereta reformasi
yang melaju terbata di rel depan rumah bambu mereka.
Lantas mengapa hanya di halaman rumah bambu,
yang ditumbuhi bunga bangkai,hingga pelangi menjadi
pudar warnanya.
Kita tak perlu lagi saling beradu sorot mata
bila angin segar dari ketiak langit
masih mampu kita jaring untuk menyemai padi, palawija
dan anak cucu kita
yang bersekolah
di gedungin gedung yang retak dindingnya.
Kita atur langkah kita dan hembuskan nafas yang bersih
Agar bunga bunga sorga masih bisa tumbuh
Memagari punggawa punggawa yang membengkak perutnya
berisi ketamakan dan nafas busuk
meski halaman rumahnya telah terpancang
rimbunya tanda jasa dan kemegahan. (Semarang,
27 Oktober 2011).
Merajut Pagi di Bumi Nusantara
Benang sutra kini
sudah rapuh,
untuk merenda pagi dalam kanvas
yang berukir
mozaik wajah wajah tunduk,
betapa tingginya
bunga ilalang menggapai langit biru
di negeri berpagar
kemarau panjang
Telah kering air
kali sejuk membius
angin benuapun lebih memilih melajukan prahara
sementara petinggi
negeri
hanya duduk melamun
dengan taring menjulur tajam
dan siap merobek
wajah pagi yang santun,
sehalus sutra dan
sesejuk
buih Danau Toba
Kita telah berada
di beranda jaman
yang berisi dunia
maya dan “solar flare”
mampukah kita
menyobek kelambu dan tabir
yang mengungkungkan
kita di kamar ketertinggalan
maka tiada guna
lagi tangan menggapai liar
bila rajutan pagi
tak membutuhkan lagi
(Semarang, 27 Oktober 2011).
Dalam Doa
Dalam doa kita tak sendiri.....
Sayap sayap malaikat telah merentang
yang berisi gambaran perjalanan panjang
menuju Istana Megah di ufuk timur
Dalam doa, tak ada
saksi lagi
mengeringnya air mata...untuk membungkam
teriakan panjang di jalan jalan
pertikaian di gedung gedung terpandang
Tuhan, lindungilah negeri seribu bunga ini
(Semarang, 27 Oktober 2011).
Langganan:
Postingan (Atom)