Sebuah Kisah tentang Negeri Bunga
Kala sang dewa membasuh wajahnya dari air sejuk pancuran sorga,
mengalirlah air kehidupan , sebening embun
yang menepikan birama tanah retak,
dari cengkeraman kemarau panjang.
Wajah sang dewapun kini menjadi cermin dari sekumpulan,
bunga bunga yang memegari halaman rumah ...
yang berjejer dari “Andalas, Borneo hinggga Tanah Papua”.
Saat itu teduh telah memenuhi langit biru,
meski “iri dan dengki”
dari Negeri Sinderella lama mengintip
dan mengokohkan jerat di Samudra Hindia, agar karang-
karang kokoh
menjadi rapuh, serapuh kedurjanaan mereka.
Kawanan burung camar menjadi saksi
merapatnya kapal
kapal VOC yang bengis dan serakah,
menebas bunga bunga sorga dan memasangkan pada
sisi lambung kapal
kapal mereka yang pongah
bunga sorgapun
terpingit dalam halimun kelam
Lengan lengan rapuh,
tak kuasa menyeka
air mata Ibu Pertiwi dan saat itu bertebaran memenuhi
sawah ladang yang
terinjak sepatu laras tuan tuan tanah,
yang menyeringai dari buritan kapal.
Namun busur waktu telah melontarkan detik demi detik
hingga lengan
lengan itupun perlahan menjadi tangkas
untuk memikul senapan dan menggenggam bara.
Untuk menghardik mereka semua kembali ke Istana
Sinderalla.
Jangan kau remehkan
tumbuhnya bunga,
meski kelopaknya telah kau sayat di Tanah Digul, Ende dan Bengkulu
meski lengan lengan ini hanya mampu menerkam sebungkus
nasi
dan adonan daun
pepaya dan ketela. Langitpun menyodorkan catatanya,
telah terbukti lengan lengan itu mampu menelikung sayap sayap Fighting Cock
dan Mallaby yang
terpincing matanya. Dan kala Palagan Ambarawa serta
Medan Area telah menjadi bukti meradangnya lengan lengan
yang lama terpingit ketidakadilan.
Setiap sari bunga sorga menjadi beterbangan memenuhi
ruang di bawah langit,
kala bunga Sakura dari Timur berhasrat meminang
bunga bunga dalam karangan berduri dan mengiris luka,
bunga bunga sorga yang
lemah santun menjadi saling
pandang
Betapa kekarnya bunga sakura, yang mengusung hasrat bersemi
dalam pijakan yang dalam, di sawah ladang Asia Pasifik
Pernahkah kau dengar cerita dari sekumpulan awan ?....
yang tergelar karena bunga yang “murah senyum”
lantas menebas leher “bunga merah”, yang menjinjing
tempayan berisi air mata.
membuat angin
padang tak ramah melaju
menerbangkan debu debu
pada jalan yang panjang dan berkabut
Kita tak mampu lagi menampung air mata
yang tercecer di aspal jalan dan halaman kantor negeri
lantaran bunga bunga itu telah melonggarkan teriakanya
dan menyumbatkan nadi jantungnya, hingga berisi
makian, cercaan ....tak ada lagi beranda hati
yang ditumbuhi ranum mentimun, air mawar, segarnya air
Danau Toba
untuk sekedar
mandi anak cucu kita di pancuran sorga.
Bunga bunga kini menghitam putiknya,
Melepuhkan juga kulit kulitnya
lantaran terhempas asap kereta reformasi
yang melaju terbata di rel depan rumah bambu mereka.
Lantas mengapa hanya di halaman rumah bambu,
yang ditumbuhi bunga bangkai,hingga pelangi menjadi
pudar warnanya.
Kita tak perlu lagi saling beradu sorot mata
bila angin segar dari ketiak langit
masih mampu kita jaring untuk menyemai padi, palawija
dan anak cucu kita
yang bersekolah
di gedungin gedung yang retak dindingnya.
Kita atur langkah kita dan hembuskan nafas yang bersih
Agar bunga bunga sorga masih bisa tumbuh
Memagari punggawa punggawa yang membengkak perutnya
berisi ketamakan dan nafas busuk
meski halaman rumahnya telah terpancang
rimbunya tanda jasa dan kemegahan. (Semarang,
27 Oktober 2011).
Merajut Pagi di Bumi Nusantara
Benang sutra kini
sudah rapuh,
untuk merenda pagi dalam kanvas
yang berukir
mozaik wajah wajah tunduk,
betapa tingginya
bunga ilalang menggapai langit biru
di negeri berpagar
kemarau panjang
Telah kering air
kali sejuk membius
angin benuapun lebih memilih melajukan prahara
sementara petinggi
negeri
hanya duduk melamun
dengan taring menjulur tajam
dan siap merobek
wajah pagi yang santun,
sehalus sutra dan
sesejuk
buih Danau Toba
Kita telah berada
di beranda jaman
yang berisi dunia
maya dan “solar flare”
mampukah kita
menyobek kelambu dan tabir
yang mengungkungkan
kita di kamar ketertinggalan
maka tiada guna
lagi tangan menggapai liar
bila rajutan pagi
tak membutuhkan lagi
(Semarang, 27 Oktober 2011).
Dalam Doa
Dalam doa kita tak sendiri.....
Sayap sayap malaikat telah merentang
yang berisi gambaran perjalanan panjang
menuju Istana Megah di ufuk timur
Dalam doa, tak ada
saksi lagi
mengeringnya air mata...untuk membungkam
teriakan panjang di jalan jalan
pertikaian di gedung gedung terpandang
Tuhan, lindungilah negeri seribu bunga ini
(Semarang, 27 Oktober 2011).
Indonesia Di Tengah Benang Waktu
Kala pagi halimun
masih kentara, menghitami
hamparan sawah
ladang, dan menenggelamkan
kuning permadani
padi, dan hijau kecoklatan
palawija. Belalang
belalang masih meneriaki makian
panjang, di tengah
perut mereka yang meradang
seakan menggenggam
hasrat, untuk membelah
dinding perut
mereka sendiri.....
di tengah mereka
itulah Indonesiaku berdiri kokoh
Telah beberapa lama
pagi itu, mereka
yang bertopi
“caping” dan bercelana kumal
telah lalai
membenahi pagi, dengan sarapan nasi
hangat
dan sajian teh
manis.
Namun mereka malah
bersikokoh untuk
menghempaskan pagi
dan memaksa ilalang lemah
menelan ludah
mereka mentah mentah
bukankah gubug
bambu, yang berangin sejuk dan nyaman
adalah rumah tempat
bersemayam ilalang
yang ada di Ibu Pertiwi
Mengapa atap rumbai
rumah- rumah ilalang sepanjang
“Bukit Barisan” dan
“Pegunungan Kidul” yang tersambung dengan
“Waisor” dan
“Timika” bersatu dalam seduhan
cincin
api....lantas akan kau ubah
menjadi naga-naga
bertaring merah, penghisap darah...
di atas “meja
korban” dalam tragedi kemanusian paling
pengap dan mengiris
bulu kuduk.....
Saat relung
waktu masih melilit perjalanan
panjang kita
hingga berada
tepat di depan kaki kita yang melipat,
ilalang itupun
masih menggapai kedua tanganya
lantaran atmosfer
di atas “Negeri Krakatau”
telah berwajah
garang, tanpa berdandan ramah (Semarang, 23 Oktober, 2011).
Meniti
Awan- Awan Hitam
Kita rapikan awan-
awan dalam rentang perjalanan kita
agar tidak
berselingkuh dengan gelap dan hitam
jangan kita pasang
gendang telinga
pada lidah lidah
kelu, yang berkerah putih
dan bersepatu
“pantofel” dengan senyum “perlente”
Di tengah
perhelatan sumbang
dari anak
negeri...dengan kepalan tangan mengencang
tapi bersorot mata
menghadap rumah berarsitek
negeri impian,
mereka sempat bergumam
“biar saja sang
abang becak menghangus diterkam
panasnya
mentari...biar saja semua si miskin
terjerambab dalam
kubangan lumpur menghitam”
Kita adalah anak
negri, yang bermandi kuning
sinar sang mentari
di hulu ”Sungai Kapuas, Mahakam dan Musi”
bertatap pada
“Puncak Jaya Wijaya”
namun kita
harus tetap mentautkan benang sutra
titian
menuju cakrawala
yang ditengahnya berdiri
rumah sederhana
namun kokoh
tempat bermain anak
anak kita..
Jangan kita surutkan apa yang kita miliki
hanya karena awan hitam yang menutup kening kita
serta membuat kita
terpagut pada asa yang samar (Semarang,
23 Oktober, 2011).
Takan
Pernah Usai
Bergeraklah dan
terus bergerak
daun nyiur di tepi
pantai,
agar angin kemarau,
mampu mengipasi
bidadari
yang melepas dahaga
di tepi pantai,
pada muara sungai sungai
bening beraroma
khatulistiwa
Teruslah melejit
seperti anak panah
pergantian arah
angin muson
karena dari
sinilah, kita menjadi “Negri Santun”
yang tak kan pernah
mengusung teriakan panjang
yang tak pernah
membusung dada kita
kita takan pernah
berhenti......
menghembuskan iklim
sejuk dan bij-i biji kering
agar bersemi, di
sawah ladang,
tanpa prahara dan
suara burung sumbang. (Semarang,
23 Oktober, 2011).
Sebuah
Pesan untuk Saudaraku
Sudah
berabad lamanya, nenek moyang kita....
mengikat pagi,siang dan senja hari
dengan jagung, ketela rambat dan bayam
tak
ada duri tajam di sawah ladang mereka....
mereka siram dengan air Anugerah dari
Yang Kuasa.
Tiada gemercik air kali yang membawa aroma
kemunafikan
dan durjana, sawah merekapun
ditanami
“tanaman kebajikan” hingga menumbuhkan semai
kebijakan.
Tiada pernah ada makar, anarkis dan mesiu
Mari kita menambatkan perahu di pantai mereka
meski akan
kita temui jalan dari tanah liat yang
licin, lembab namun bertepi wangi bunga
berpagar bambu dengan anyaman yang rapi dan kokoh
dengan “sang
gula kelapa” melekat kuat di pilar
kayu pintu depan rumah gubug mereka.
Kita sapa punggawa, hulubalang serta para menteri
Yang berjejer rapi di cakrawala mereka
Yang berangin sepoi, bukan angin yang berdebu,
yang menderu memburu, halaman depan gedung loji
beratap kayu cendana dan
bertembok tulang belulang
dari belukar ,
yang tumbuh di tengah padang penuh batu
bergerigi.
Kita sisipkan satu halaman buku catatan kita
Agar terbaca bintang, halimun dan tepi langit
Sehingga mereka berhasrat datang ke Bumi Nyiur di
Pantai
Dengan mengemudikan angin fajar.
Mari kita benamkan, segala bara, hempasan prahara
Yang datang dari sudut langit, yang kau penuhi
dengan
iri dengki
dendam dan hasut
tiadakah pagi, tempat memainkan buluh kembang tebu
untuk dijadikan seruling.
Atau kita hanya diam....
Sepi. Semarang,
29 Oktober 2011.
Prosa untuk Negeriku
Bila kita untai sepotong sajak dari guratan alam
yang terhampar
pada kubangan antara dua benua,
melajulah Pinisi, yang membuang sorot mata jauh
ke Selat Malaka,
yang berombak sejuk, penuh “susul menyusul”
lagu rakyat tentang pantai, lembah dan gunung.
Meski ‘Wedus Gembel” pernah menyalak keras,
Namun dia tetap mengokohkan
Tebing tebing yang memagari sawah ladang
Agar tetap betumbuh hijauan, yang tak pernah
melangkah surut ,
meski prosa ini
telah kehilangan birama tentang “untaian kasih”
Dari kumpulan kembang sepatu ,beluntas dan kayu manis
Mereka saling melilitkan akarnya agar kokoh berjejer
sepanjang relung waktu...memenuhi megahnya
hingga pujanggapun tak lagi mampu
menyusun prosa (Semarang,
29 Oktober 2011)
Aku tak Ingin Pulang
Aku belum mampu meninggalkan jejak kaki
Agar dipunguti anak
cucu
Yang memburu belalang
liar...
dan tidur di
ilalang yang mengering
Baru saja udara
yang pengap
Berselingkuh dengan
rongga dadaku,
Hingga penat
menyelinap seluruh sendiku
Karena aku berusaha
ingin tahu, tentang teriakan
panjang para anak
bangsa yang menyelipkan
segudang geram, mampu merobohkan
Anak Krakatau dan
Rinjani
Aku tak ingin
pulang
Sebelum bunga
bunga kering di tengah jalan
yang ditebar dengan
sebelah mata
menjadi bersemi
lagi
harum
mewangi...menghiasi puncak
Jaya Wijaya. (Semarang,
29 Oktober 2011)
Dendam Rindu
Kekasih yang menyimpan rindu,
adalah dia yang memegang erat semua
yang singgah di bilik jantung
Sang putri yang menawan, bersenyum ceria yang
disemai “Caldera Gunung Bromo”,
menopangkan hidupnya dengan bergayut
pada sejarah yang ditoreh tinta emas
pejaka yang merindu
yang selalu berikrar menyatukan semua
kaldera,kawah belerang, fumarol dan
hiasan alam
yang bersama dipikaji dengan dendam rindu
Luruhkan dahulu dendam rindu
Agar mengatur nafas
Dan beristirahat di Bumi Nusantara (Semarang,
29 Oktober 2011)
Pahlawan Terakhir
Lelaki tua
itu telah redup sorot matanya,
mengais angin
sejuk, menyisir duka
di pinggiran jalan protokol beraspal kepongahan,
di sampinya meluruskan kaki, berbaju compang camping
milik anak jaman
seorang pengemis muda…
“aku dulu mampu membungkam howitzer Anjing NICA”
seru laki laki tua itu, seraya menunggu kekaguman
pengemis muda mencibirkan bibir, membeku lidahnya
dengan mendengus nafas
pengemis muda menikamkan sebuah seloroh
“mengapa tak kau kenakan kerah baju jendral”
batu batuk kecil dan dalam menjawabnya
menyelipan kata, “usai sudah yang aku mampu…..
dadaku tak cukup bidang untuk menggayutkan
bintang jasa”
di pinggir jalan berumbai langit biru
adalah milik lelaki tua itu…yang mengungkung hatinya
tidak segentar membungkam “Water Mantel”
di genggaman “Gurkha” yang perkasa
semakin perlahan dia menyusuri jalan itu
kini sepi, dalam keranda tak berkemas
merah hati namun berkibar di hatinya
dalam keranda dia membawa tanah Sang Ibu Pertiwi
untuk di semai di halaman langit (Semarang, 3 November 2011).
Sebuah Epos Yang
Hilang
Tidakah kau pernah tahu ?
mereka datang dari jauh hanya membawa bara
untuk
menghanguskan setiap lekuk tubuh
Sang Ibu Pertiwi, aku menggenggam pilu
Aku
mengencangkan urat nadi
tidakah kau tahu
pula, anak- anaku?
Kita hanya memiliki
rembulan dan matahari yang saling berkejaran
untuk menguningkan padi dan tanaman jagung
agar perut kita tak menghempaskan deru
Namun mengapa mereka
menjaring angin kembara dan mengaitkan
pada sisi “negeri santun berpantai nyiur”
kita tak akan melipatkan lengan
meski kita hanya
bertelanjang dada
namun degup jantung mampu merobohkan tebing
yang mereka kokohkan
sepanjang Bukit Barisan hingga Cendrawasih
Anaku,
bila kokok ayam jantan di tebing ufuk timur
pagi berhias mentari, burung berpantun ria
dengan bulu warna warni
berbicaralah pada hari hari yang membisu
tentang lengan lenganku yang menghilang
kala memburu mentarimu, agar tetap terjaga (Semarang, 4
November 2011).
Manifesto Untuk Hantu
Berkerah Putih
“Altar yang kau lebarkan hingga menepi di batas Laut
Kidul, gigimu menyeringai, nampaklah tangan kecil menggelepar meradang nyawa
namun menepis nafas mereka sendiri. Sekawanan hantu terus saja membaca mantera,
dengan jas hitam berkerah putih, hingga Nampak langit berpoles warna kebiruan
namun masih berenda awan hitam”
Pohon perdupun menyimak, meski belukar mencibir,
rumput tetap saja mengokohkan sepatu laras
untuk menunjam bumi, bila sang Pemeran Jaman terpelanting dalam jurang,
Namun berjuta raut, mempersembahkan protes terhadap “mantra
sang hantu”
Yang hendak mengoyakan langit.
Dan mengusung
awan hitam, bertepi racun, onak bulu bambu.
Untuk mengusir nyamuk nyamuk bertulang iga rapuh di
bawah gubug bambu
Jangan kau hadapkan punggungmu, sang hantu !. Bila
liuk puting beliung menghimpitmu,
Hingga melemparnu ke Puncak Tanguruhua atau
Pinistubo,
Agar kau lebih akrab dengan tabir yang dulu kau
pintal setebal belacu,
1
Kau boleh mengajak semua yang ada di kantong bajumu
Untuk menjadi teman kala kau tersudut di sudut
tragedi
Apakah belum pernah kau dengar lagi,
Saat ibu ibu di desa membawa anaknya untuk melihat
dunia
Mereka bersekolah di bangunan kardus, bersandar pada
keramahan angin gunung, untuk menyisir daun daun
sayur yang tumbuh
Di sepanjang kebun penuh harap, sedangkan atap sekolah
mereka
selalu bergoyang ditiup angin ketidaktahuan
Atau kau lebih memilih
Bernyanyi simphoni riuh rendah yang mampu merobohkan
warna pelangi
Kala hitam tidak sepantasnya bertaut dengan jingga,
Atau biar saja “wedus gembel” menjadi merah membara
Menyodorkan sudut jantung yang berkawan sembilu
Kemudian menusuk tiap
yang kita miliki (Semarang, 4
November 2011).
Dari
Majapahit Hingga Reformasi
Setiap
pantai berbuih lembut.
Dari
hamparan Laut Utara hingga Selatan, bersemilir angin
penyejuk
sepasang mata kita,
petir
dan halilintarpun memasang bantal peraduanya,
mentaripun
menjaga tidur pulas mereka,
diapun
terus saja mengipaskan kuning rambutnya
agar
menusuk sanubari kita masing masing
tentang
“Negeri Tautan Keramahan Alam”
Negri
ini,
telah
menopang kita dengan bahunya yang lebar
senyum
gadis desa, mandi di sungai bening
mengalir
sepajang lembah hijau.
Tak
ada teriakan panjang memantul
Dari
dinding-dindang kedurjanaan.
Aku
berusaha mengintipnya dari sela sela
pagar tanaman tanaman beluntas, beribu membiusku
tatkala
semua anak cucu terbawa angin
katulistiwa
telah
terdampar pada lembah “senyum menawan”
kita
bersemayam, dalam nafas yang lentur
Sang
punggawa kraton Majapahit beramai-
ramai,
Menawan
hati “Sang Mahapatih Gajah Mada”
menarikan
gemulai hasrat, lembut tari kemanusiaan
Mengusung
sebuah kabar, datang dari mega Mahameru”
Untuk
menyunting “Negeri Katulistiwa”
Borneo
bermandi wangi bunga, pada jambangan bunga
Telaga
Bukit Barisan, Burung Cendrawasih menatapkan
sorot
mata sejuik, mampu melipat halimun pagi
Titian
pelangi senja, telah mengokohkan sebelah kakinya
di
Gunung Jaya Wijaya….
Namun
duka merayap di tiap tulang iganya
Ketiga
pelangi merambah “Negeri Reformasi”
“warna
merah bara menyalak memenuhi tiap pagi,
biru
menyendukan kemanusiaan yang tertsedu.
Warna
putih berselingkuh dengan awan gela,
Di
tepi wara jingga, yang memudar
tentang
“cinta kasih” antara ilalang Negeri Reformasi
sang
dara penjaga awan
telah
basah pipinya tertusuk asap hitam
yang
membumbung dari gedung-gedung menteri
yang
terbakar angin prahara
semua
berteriak nyaring dalam deru
di
atas jalan aspal yang mengelupas
kala
anak kota tawur melemparlan semua kebohongan
yang
mengalir bersama air sungai yang hitam
dan
bermuara pada perut buncit punggawa kraton
aku
berlari mencari pagar yang kokoh
tak
ada lagi muslihat atau pertikaian
tapi
pagar itupun menghardiku kuat kuat
sudah
tak ada lagi pohon tempat nyanyi kenari
meninabobokan
anaknya yang mencicit
terbelit
uang SPP,
aku
menjerit hingga terjagalah dari tidur siang
sang
penjual bakso, mi ayam, abang becak,
tukang
bangunan, kenet mikrolet yang mengakar
pada
permadani hijau Negeri Reformasi
dalam
kereta yang tidk pernah singgah
di
stasiun berhalaman beluntas*** (Semarang, 6 Nopember 2011)
Senyum
Malu Bidadari
Senyum
malu dari Anggrek Bulan, tanaman bidadari
Menyeruak
memenuhi halaman Prambanan dan Borobudur
Lantas
Serambi Mekah di Plataran Malaka,
telah
tersapu bersih dari sampah sampah “tak berarti”
saat
lesung pipi bidadari menemani petani desa,
menata
benih padi bersiram air hujan ramah
Menggurati
kanvas kehidupan kita semua
Senyum
kembali menghampar pada kungkungan langit
Kala
birunya telah ditelan hidup- hidup “Bhatara Kala”
Lambing
kebimbangan dan kemusykilan.
Namun
senyum tak berlesung pipit
lantaran
telah usang pantun dan gurindam
serta
sajak sajak tentang nasionalisme
Jangan
kau tertunduk galau dan risau…bidadariku
Kembalilah
dengan senyum malumu…beruntai
tembang
manis negri berpagar hujan
Mari
kita kembali lagi bertanam patriotisme
hingga
anak anak kita kokoh menggenggam
gula
gula manis, mengejar nurung pipit hingga
ke
tengah sawah, bermandikan air bening kali desa***(Semarang, 6 Nopember 2011)
Fatamorgana
Kemarin
“emak” telah memberiku
Sepotong
dongeng, tentang aku dan bagaimana
aku
memungut nafas, di tengah liukan “jalan tak berujung”
Emak
menerpakan aku sebuah pandang mata
yang
jauh menebariku “semai kemanusiaan”
hingga
ke tengah hati ini
Anaku;
Jangan
kau iri dan dengki
Jangan
kau menyelipkan hidup
dari
“uang Negara”, yang nantinya
melumatkan
sendi tulangmu
Jangan
kau tertawa di padang ilalang
Padahal
kelopak bunganya telah tegak
menghadap
langit.
Anaku,
bersatulah
dalam ikatan jalan panjang
menuju
bangunan kokoh di balik “dongeng emak”
tanpa
fatamorgana, meski kabut masih melilit
aku
menggeliat *** (Semarang, 6 Nopember 2011)
Ilalang Ilalang Negeri
Bunga ilalang
ilalang telah kusam bunganya
Tiada angin padang yang menjenguknya…
kian sepi dan meluruh tulang daunya
kala sepatu laras merebahkan
Ilalang, menembus pagi berpagar Flamboyan
Tapi tak pernah menemui harum selaksa kembang
Ilalang kembali jadi lakon
Dalam panggung lenong betawi
Hingga
tiada pagar yang mampu menepis**(Semarang, 6 Nopember 2011)
Sebuah Kisah tentang Negeri Bunga
Kala sang dewa membasuh wajahnya dari air sejuk pancuran sorga,
mengalirlah air kehidupan , sebening embun
yang menepikan birama tanah retak,
dari cengkeraman kemarau panjang.
Wajah sang dewapun kini menjadi cermin dari sekumpulan,
bunga bunga yang memegari halaman rumah ...
yang berjejer dari “Andalas, Borneo hinggga Tanah Papua”.
Saat itu teduh telah memenuhi langit biru,
meski “iri dan dengki”
dari Negeri Sinderella lama mengintip
dan mengokohkan jerat di Samudra Hindia, agar karang-
karang kokoh
menjadi rapuh, serapuh kedurjanaan mereka.
Kawanan burung camar menjadi saksi
merapatnya kapal
kapal VOC yang bengis dan serakah,
menebas bunga bunga sorga dan memasangkan pada
sisi lambung kapal
kapal mereka yang pongah
bunga sorgapun
terpingit dalam halimun kelam
Lengan lengan rapuh,
tak kuasa menyeka
air mata Ibu Pertiwi dan saat itu bertebaran memenuhi
sawah ladang yang
terinjak sepatu laras tuan tuan tanah,
yang menyeringai dari buritan kapal.
Namun busur waktu telah melontarkan detik demi detik
hingga lengan
lengan itupun perlahan menjadi tangkas
untuk memikul senapan dan menggenggam bara.
Untuk menghardik mereka semua kembali ke Istana
Sinderalla.
Jangan kau remehkan
tumbuhnya bunga,
meski kelopaknya telah kau sayat di Tanah Digul, Ende dan Bengkulu
meski lengan lengan ini hanya mampu menerkam sebungkus
nasi
dan adonan daun
pepaya dan ketela. Langitpun menyodorkan catatanya,
telah terbukti lengan lengan itu mampu menelikung sayap sayap Fighting Cock
dan Mallaby yang
terpincing matanya. Dan kala Palagan Ambarawa serta
Medan Area telah menjadi bukti meradangnya lengan lengan
yang lama terpingit ketidakadilan.
Setiap sari bunga sorga menjadi beterbangan memenuhi
ruang di bawah langit,
kala bunga Sakura dari Timur berhasrat meminang
bunga bunga dalam karangan berduri dan mengiris luka,
bunga bunga sorga yang
lemah santun menjadi saling
pandang
Betapa kekarnya bunga sakura, yang mengusung hasrat bersemi
dalam pijakan yang dalam, di sawah ladang Asia Pasifik
Pernahkah kau dengar cerita dari sekumpulan awan ?....
yang tergelar karena bunga yang “murah senyum”
lantas menebas leher “bunga merah”, yang menjinjing
tempayan berisi air mata.
membuat angin
padang tak ramah melaju
menerbangkan debu debu
pada jalan yang panjang dan berkabut
Kita tak mampu lagi menampung air mata
yang tercecer di aspal jalan dan halaman kantor negeri
lantaran bunga bunga itu telah melonggarkan teriakanya
dan menyumbatkan nadi jantungnya, hingga berisi
makian, cercaan ....tak ada lagi beranda hati
yang ditumbuhi ranum mentimun, air mawar, segarnya air
Danau Toba
untuk sekedar
mandi anak cucu kita di pancuran sorga.
Bunga bunga kini menghitam putiknya,
Melepuhkan juga kulit kulitnya
lantaran terhempas asap kereta reformasi
yang melaju terbata di rel depan rumah bambu mereka.
Lantas mengapa hanya di halaman rumah bambu,
yang ditumbuhi bunga bangkai,hingga pelangi menjadi
pudar warnanya.
Kita tak perlu lagi saling beradu sorot mata
bila angin segar dari ketiak langit
masih mampu kita jaring untuk menyemai padi, palawija
dan anak cucu kita
yang bersekolah
di gedungin gedung yang retak dindingnya.
Kita atur langkah kita dan hembuskan nafas yang bersih
Agar bunga bunga sorga masih bisa tumbuh
Memagari punggawa punggawa yang membengkak perutnya
berisi ketamakan dan nafas busuk
meski halaman rumahnya telah terpancang
rimbunya tanda jasa dan kemegahan. (Semarang,
27 Oktober 2011).
Merajut Pagi di Bumi Nusantara
Benang sutra kini
sudah rapuh,
untuk merenda pagi dalam kanvas
yang berukir
mozaik wajah wajah tunduk,
betapa tingginya
bunga ilalang menggapai langit biru
di negeri berpagar
kemarau panjang
Telah kering air
kali sejuk membius
angin benuapun lebih memilih melajukan prahara
sementara petinggi
negeri
hanya duduk melamun
dengan taring menjulur tajam
dan siap merobek
wajah pagi yang santun,
sehalus sutra dan
sesejuk
buih Danau Toba
Kita telah berada
di beranda jaman
yang berisi dunia
maya dan “solar flare”
mampukah kita
menyobek kelambu dan tabir
yang mengungkungkan
kita di kamar ketertinggalan
maka tiada guna
lagi tangan menggapai liar
bila rajutan pagi
tak membutuhkan lagi
(Semarang, 27 Oktober 2011).
Dalam Doa
Dalam doa kita tak sendiri.....
Sayap sayap malaikat telah merentang
yang berisi gambaran perjalanan panjang
menuju Istana Megah di ufuk timur
Dalam doa, tak ada
saksi lagi
mengeringnya air mata...untuk membungkam
teriakan panjang di jalan jalan
pertikaian di gedung gedung terpandang
Tuhan, lindungilah negeri seribu bunga ini
(Semarang, 27 Oktober 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
KAMI SELALU MENERIMA WACANA DARI PENGUNJUNG DEMI PEMBELAJARAN BEKAL ILMU KAMI