sumber google |
Menghadapi alam yang menggeliat seperti tersebut di atas, maka kita
harus menyikapi dengan sigap, yang
bertujuan untuk menghadapi fenomena yang
mampu merusak kehidupan social masyarakat kita, meski hanya menghindarkan
kerugian semaksimal mungkin akibat “amukan alam” ini. Hal ini dikarenakan hingga kini belum ada
capaian iptek manusia yang handal dalam menghadapi alam, yang “perkasa, garang,
misterius dan sekaligus lembut” sebagai penopang kehidupan organisma di muka
bumi ini. Umat manusia hingga kini hanya mampu menelisik faktor faktor penyebab
“liar dan garangnya alam” terutama penyebab
banjir , yang berpeluang besar hadir di tengah kita.
·
Kerusakan Lingkungan dan Banjir
Seperti kita ketahui bersama, bahwa suhu rata-rata atmosfer Bumi telah meningkat dari tahun demi
tahun sebesar 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun
terakhir. Fenomena alam tersebut berhasil dikembangkan lebih lanjut oleh hasil peneltian
badan dunia yang bernama Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), yang
menyimpulkan bahwa, sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global
sejak pertengahan abad ke-20, kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya
konsentrasi gas-gas rumah
kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca. Bahkan sebanyak 30 badan ilmiah
dan institusi akademik (termasuk semua akademisi, ilmuwan dari negara-negara G8) juga telah menyepakati fenomena bumi
tersebut. Mereka juga menyepakati Model
Iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC,
yang mengisyaratkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga
6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 hingga 2100 nanti (Pemanasan
Global, Wikipedia, 2010).
Sebuah tim peneliti lain dari Universitas Oxford baru baru ini juga telah
melakukan penelitian tentang atmosfer . Dalam penelitian tersebut mereka menggunakan model computer, yang mampu
menggambarkan keadaan atmosfer sebenarnya. Dengan menggunakan computer tersebut
mereka berhasil membandingkan keadaan atmosfer tanpa Karbon Dioksida dan gas efek rumah kaca
lainya (yang terkumpul karena emisi peradaban yang ada di muka bumi ini).
Dengan studi perbandingan tersebut, berhasil disimpulkan tentang keadaan
atmosfer dekade sekarang, perangkat computer tersebut memberikan gambaran tentang adanya air sungai (perairan bumi) yang ber-pH
basa, dan mampu menyebabkan curah
hujan yang relatif tinggi. Kasus ini banyak dijumpai di Inggris dan Wales. Mereka juga mengemukakan bahwa pada kasus
peningkatan sifat basa air sungai yang
ekstim di sekitar wilayah tersebut, ternyata menimbulkan banjir bandang pada
tahun 2000.
Dengan penemuan tersebut mereka berhasil menjawab hubungan antara “emisi gas rumah kaca” terhadap banjir
bandang. Studi lainya tentang iklim
dilakukan juga oleh ilmuwan dari Kanada
dan Inggris yang menyimpulkan bahwa adanya
fenomena “emisi gas rumah kaca” menyebabkan peningkatan curah hujan yang
ekstrim dan terjadi di belahan bumi utara. Peningkatan curah hujan tersebut
berlangsung antara tahun 1950 hingga 2000 (BBC News, Climate Change Raise Flood
Risk, 16 Pebruari 2011).
Peluang tingginya curah hujan hujan di atas normal di Indonesia telah dilaporkan oleh Kepala Sub Bidang Peringatan
Dini Cuaca Ekstrim BMKG, Kukuh Ribudiyanto, yang menyatakan bahwa cuaca ekstrim memang salah satu penyebab terjadinya banjir
dan biasanya curah hujan yang tinggi ini terjadi mulai Desember hingga Febuari tahun
berikutnya. Dengan demikian adanya fenomena cuaca ekstrim tesebut tentunya mampu
mensiratkan kita untuk bersikap “ekstra waspada dan prihatin “ terhadap
banjir yang ditimbulkannya. Sehubungan
dengan banjir yang telah akrab dengan kita,
- Teror Untuk Kota Besar
Meski kita belum berani menyatakan kebenaran hasil riset ilmiah Climate
Change Raise Flood Risk di atas,
namun beberapa kasus “banjir besar dan
bandang “ telah terjadi di muka bumi ini. salah satunya adalah banjir “Jakarta 2007”. Bencana banjir ini menghantam Jakarta dan sekitarnya sejak 1 Februari 2007 malam hari. Selain sistem drainase yang buruk, banjir berawal dari hujan lebat yang
berlangsung sejak sore hari tanggal 1 Februari hingga keesokan harinya tanggal
2 Februari, ditambah banyaknya volume air 13 sungai yang
melintasi Jakarta yang berasal dari Bogor-Puncak-Cianjur, dan air laut yang sedang
pasang, mengakibatkan hampir 60% wilayah DKI Jakarta terendam banjir dengan
kedalaman mencapai hingga 5 meter di beberapa titik lokasi banjir.
Fenomena banjir akan menjadi tambah
kompleks bila fenomena ini menerjang kota metropolitan seperti Jakarta dan kota
besar lainya baik di dalam maupun di luar negeri. Kota Jakarta tidak mempunyai
pilihan kecuali untuk bersinergi dengan alam yang telah menjadi warisan ibu kota
Indonesia ini. Kota ini dialiri 13 sungai dan empat puluh persen daratannya
berada di bawah muka laut pasang. Laju penduduk Jakarta pun pesat sehingga
tekanan pada alam Jakarta berdampak pada pengelolaan serta pengendalian banjir.
(Fauzi
Bowo, Mengapa Jakarta Banjir.
Pengendalian Banjir Pemerintah Provinsi Jakarta, 2010).
- Solusi Komprehensif
Solusi yang lunak dan persuasif di
kota besar perlu sekali dikedepankan unyuk menepis terror banjir ini. Bukan
hanya upaya rehabilitasi drainase lingkungan. Karena masalah banjir adalah
masalah “keseimbangan ekologis” yang telah didzolimi umat manusia. Sehingga
akan pecuma saja bila Ditjen Sumber
Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum mengalokasikan anggaran sebesar Rp145,7
miliar untuk pengamanan pantai dan pengendalian banjir pada 2012, tanpa ada “pencerahan moralitas” rakyat kita yang peduli dengan lingkungan,
seperti : swadaaya pengelolaan sampah, swadaya pemeliharaan drainase di
lingkungan sekitar mereka, pelestarian dan perluasan Lingkungan Terbuka Hijau yang proporsional
dengan pemukiman. Sehingga di masa mendatang lingkungan kota akan terbebas dari
teror banjir (Dari berbagai sumber).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
KAMI SELALU MENERIMA WACANA DARI PENGUNJUNG DEMI PEMBELAJARAN BEKAL ILMU KAMI